Glitter Words


Senin, 10 Juni 2013

Tamalabang



Kita tak pernah tahu kemana kita akan melangkahkan kaki. Setinggi apapun cita-cita kita, sejauh apapun imaji kita melanglang buana, kita tak pernah tahu kapan dan di mana petualangan besar akan dimulai. Kita hanya memiliki kaki-kaki kecil yang setapak demi setapak menjalani kehidupan ruang dan waktu.
Begitu juga saya di sini. Di tempat yang saya tak pernah bayangkan sebelumnya. Sebuah tempat sunyi sepi jauh dari hiruk pikuk perkotaan dan klakson angkutan umum yang melenguh panjang bernama Tamalabang. Sebuah tempat di mana hanya ada ombak yang mendesir dan tanah berpasir beratap langit penuh sebaran bintang pada malam hari.
Selama tiga jam saya terguncang-gungcang dari Kota Kalabahi menuju Tamalabang—tempat saya mengajar selama setahun. Di tengah deru ombak yang diapit oleh Pulau Pura dan Pulau Alor, saya seakan tersedot perlahan-lahan menuju sebuah negeri baru. Tiga jam yang pendek, tetapi juga terasa panjang di lautan yang seakan tak berujung.
Petualangan besar saya berawal di sini. Di salah satu daerah 3T, di suatu tempat yang seringkali saya lihat dalam peta, tetapi seakan tanah antah berantah tak tersentuh. Petualangan saya, ternyata tidak dimulai di sebuah kota berpredikat Daerah Istimewa bernama Yogyakarta, tempat di mana saya menjejakkan kaki dua tahun lalu—tempat saya melewati 4 tahun masa kuliah. Bukan teh tubruk dan gudeg yang saya nikmati pada pagi hari, melainkan segelas teh manis hangat dan deru ombak yang berwarna biru berkilau diterpa mentari terbit. Tak ada kerlap-kerlip lampu di alun-alun, tetapi langit mahaluas dengan kerlip bintang-bintangnya diselingi sesekali bintang jatuh.
Setahun ke depan, bersama anak-anak yang akan saya ajar, saya belajar menjadi Indonesia seutuhnya. Indonesia yang selama ini hanya saya ketahui dari televisi, majalah dan buku-buku pelajaran. Ribuan lembar saya baca selama bertahun-tahun tentang negeri ini dan berjam-jam saya toton videonya, tetapi saya tak pernah tahu secara pasti tentang negeri ini. Saya akan belajar menjadi Indonesia. Indonesia yang cantik molek dengan alamnya, Indonesia yang belum dipoles hedonisme dan modernisasi.
Saya teringat salah satu kutipan yang pernah saya baca,”Tempat-tempat terindah di Indonesia seringkali adalah tempat-tempat tertinggal.” Entah mengapa, pada saat-saat terakhir akan meninggalkan Denpasar, kutipan itu selalu terngiang. Bahkan, di tengah rasa sendu ketika melepas teman-teman SM3T Kab.Alor di Dinas Pendidikan, saya masih mengingatnya. Kami semua akan menuju tempat-tempat terindah di Indonesia, tetapi kami juga akan mencemplungkan diri dalam keseharian penuh keterbatasan yang keras.
Saya berpikir,”Apa yang dapat Saya perbuat di tengah keterbatasan itu?” saya hanya anak kota yang terlanjur dibuai lama oleh kenikmatan. Apakah saya bisa bertahan di tengah pulau terpencil tanpa sinyal dan listrik terbatas? Bisakah saya menamatkan petualangan besar ini? Sejak saya terpisah dari teman-teman SM3T dan dalam tiga jam terguncang-guncang dalam deru ombak, saya selalu berpikir.
Akan tetapi, pada suatu malam penuh bintang di Tamalabang, entah mengapa saya mulai yakin bahwa petualangan ini bisa saya lewati. Mungkin  saya akan terjatuh dan terperosok bebrapa kali. Mungkin saya akan merasa lelah dan mengumpat di tengah jalan. Mungkin kehadiran dan karya saya di sini nanti tak semegah yang saya bayangkan. Dan ketika saya pulang, takkan ada sambutan meriah bak seorang ksatria menang pertarungan.
Akan tetapi, saya yakin bahwa saya bisa menjalankan tugas di sini, di tengah keterbatasan fasilitas, bersama orang-orang dengan keramahan melimpah. Saya yakin saya mau mengajar dengan baik… dan anak-anak yang saya ajar nantinya yang akan mengubah tempat-tempat terindah Indonesia menjadi lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar