Kita
tak pernah tahu kemana kita akan melangkahkan kaki. Setinggi apapun cita-cita
kita, sejauh apapun imaji kita melanglang buana, kita tak pernah tahu kapan dan
di mana petualangan besar akan dimulai. Kita hanya memiliki kaki-kaki kecil
yang setapak demi setapak menjalani kehidupan ruang dan waktu.
Begitu
juga saya di sini. Di tempat yang saya tak pernah bayangkan sebelumnya. Sebuah
tempat sunyi sepi jauh dari hiruk pikuk perkotaan dan klakson angkutan umum
yang melenguh panjang bernama Tamalabang. Sebuah tempat di mana hanya ada ombak
yang mendesir dan tanah berpasir beratap langit penuh sebaran bintang pada
malam hari.
Selama
tiga jam saya terguncang-gungcang dari Kota Kalabahi menuju Tamalabang—tempat
saya mengajar selama setahun. Di tengah deru ombak yang diapit oleh Pulau Pura
dan Pulau Alor, saya seakan tersedot perlahan-lahan menuju sebuah negeri baru.
Tiga jam yang pendek, tetapi juga terasa panjang di lautan yang seakan tak
berujung.
Petualangan
besar saya berawal di sini. Di salah satu daerah 3T, di suatu tempat yang
seringkali saya lihat dalam peta, tetapi seakan tanah antah berantah tak
tersentuh. Petualangan saya, ternyata tidak dimulai di sebuah kota berpredikat
Daerah Istimewa bernama Yogyakarta, tempat di mana saya menjejakkan kaki dua
tahun lalu—tempat saya melewati 4 tahun masa kuliah. Bukan teh tubruk dan gudeg
yang saya nikmati pada pagi hari, melainkan segelas teh manis hangat dan deru
ombak yang berwarna biru berkilau diterpa mentari terbit. Tak ada kerlap-kerlip
lampu di alun-alun, tetapi langit mahaluas dengan kerlip bintang-bintangnya
diselingi sesekali bintang jatuh.
Setahun
ke depan, bersama anak-anak yang akan saya ajar, saya belajar menjadi Indonesia
seutuhnya. Indonesia yang selama ini hanya saya ketahui dari televisi, majalah
dan buku-buku pelajaran. Ribuan lembar saya baca selama bertahun-tahun tentang
negeri ini dan berjam-jam saya toton videonya, tetapi saya tak pernah tahu
secara pasti tentang negeri ini. Saya akan belajar menjadi Indonesia. Indonesia
yang cantik molek dengan alamnya, Indonesia yang belum dipoles hedonisme dan
modernisasi.
Saya
teringat salah satu kutipan yang pernah saya baca,”Tempat-tempat terindah di
Indonesia seringkali adalah tempat-tempat tertinggal.” Entah mengapa, pada
saat-saat terakhir akan meninggalkan Denpasar, kutipan itu selalu terngiang.
Bahkan, di tengah rasa sendu ketika melepas teman-teman SM3T Kab.Alor di Dinas
Pendidikan, saya masih mengingatnya. Kami semua akan menuju tempat-tempat
terindah di Indonesia, tetapi kami juga akan mencemplungkan diri dalam
keseharian penuh keterbatasan yang keras.
Saya
berpikir,”Apa yang dapat Saya perbuat di tengah keterbatasan itu?” saya hanya
anak kota yang terlanjur dibuai lama oleh kenikmatan. Apakah saya bisa bertahan
di tengah pulau terpencil tanpa sinyal dan listrik terbatas? Bisakah saya
menamatkan petualangan besar ini? Sejak saya terpisah dari teman-teman SM3T dan
dalam tiga jam terguncang-guncang dalam deru ombak, saya selalu berpikir.
Akan
tetapi, pada suatu malam penuh bintang di Tamalabang, entah mengapa saya mulai
yakin bahwa petualangan ini bisa saya lewati. Mungkin saya akan terjatuh dan terperosok bebrapa
kali. Mungkin saya akan merasa lelah dan mengumpat di tengah jalan. Mungkin kehadiran
dan karya saya di sini nanti tak semegah yang saya bayangkan. Dan ketika saya
pulang, takkan ada sambutan meriah bak seorang ksatria menang pertarungan.
Akan
tetapi, saya yakin bahwa saya bisa menjalankan tugas di sini, di tengah
keterbatasan fasilitas, bersama orang-orang dengan keramahan melimpah. Saya
yakin saya mau mengajar dengan baik… dan anak-anak yang saya ajar nantinya yang
akan mengubah tempat-tempat terindah Indonesia menjadi lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar