Memasuki
puncak musim kemarau di bulan Agustus 2010, hujan di sebagian besar
wilayah Indonesia termasuk NTT masih terjadi dalam intensitas yang cukup
tinggi. Sebagian wilayah Indonesia bahkan hingga saat ini mengalami
musibah banjir, tanah longsor dan puting beliung. Penyimpangan cuaca
(anomali) di musim kemarau ini tidak terlepas
dari interaksi atmosfer dan lautan sebagai faktor pengendali curah
hujan. Suhu permukaan laut di perairan Indonesia yang meningkat
menyebabkan semakin intensifnya proses penguapan dan pembentukan awan
yang berdampak pada peningkatan curah hujan. Curah hujan yang tinggi juga disebabkan oleh fenomena global yang disebut La Nina.
La
Nina merupakan fenomena alam yang ditandai dengan kondisi suhu muka
laut di perairan Samudra Pasifik ekuator berada di bawah nilai normalnya
(dingin), sementara kondisi suhu muka laut di perairan Benua Maritim
Indonesia berada di atas nilai normalnya (hangat). Kondisi suhu muka
laut di samudra pasifik yang dingin menimbulkan tekanan udara tinggi,
sementara kondisi hangat perairan Indonesia yang berada di sebelah barat
pasifik menimbulkan tekanan udara rendah. Kondisi ini menyebabkan
mengalirnya massa udara dari pasifik ke wilayah Indonesia. Aliran
tersebut mendorong terjadinya konvergensi massa udara yang kaya uap air.
Akibatnya semakin banyak awan yang terkonsentrasi dan menyebabkan
turunnya hujan yang lebih banyak di daerah tersebut (lebih dari 40
mm/bulan di atas rata-rata Normalnya).
Kebalikan dari La Nina adalah El Nino ketika suhu permukaan laut di Samudra Pasifik menghangat dan menyebabkan terjadinya musim kemarau yang kering dan panjang di Indonesia. Penurunan curah hujan pada saat El Nino dapat mencapai 80 mm/bulan
Secara meteorologis kejadian La Nina dan El Nino ditunjukkan oleh Southern Osccilation Index (SOI) dan perubahan suhu permukaan laut di Samudra Pasifik (ASST). Nilai
SOI bervariasi menurut bulan atau dalam periode waktu yang lebih
singkat akibat perubahan perbedaan tekanan udara antara Darwin dan
Tahiti. Pada peristiwa La Nina, nilai
SOI meningkat di atas kisaran normal dan sebaliknya pada kejadian El
Nino. Sementara nilai ASST negatif menunjukkan terjadinya La Nina
sebaliknya ASST positif mengindikasikan El Nino.
Kecendrungan
fenomena La Nina dalam musim penghujan 2010 sebenarnya sudah diprediksi
sejak awal musim kemarau. Hasil prediksi Badan Meteorologi Klimatologi
dan Geofisika (BMKG) dan sejumlah lembaga pemantau cuaca dunia seperti
NOAA (USA), BOM (Australia), Jamstec (Jepang) menunjukkan adanya anomali
suhu muka laut negatif. La Nina diprediksi akan terus dominan hingga
Maret 2011 hingga selanjutnya menuju kondisi netral pada bulan April
2011.
Nusa
Tenggara Timur, dengan tipe curah hujan moonsonal (memiliki satu puncak
hujan), tidak luput dari fenomena ini. Normalnya musim kemarau
berlangsung cukup lama hingga 8 bulan, sementara rata-rata musim hujan
berlangsung selama 4 bulan (Desember – Maret). Tahun 2010, NTT mengalami
musim kemarau yang lebih basah dibandingkan tahun normal, meskipun
intensitas hujan tidak sebesar peningkatan di daerah lain yang
menimbulkan banjir. Pola musim NTT yang dipengaruhi oleh angin kering
dari Australia menyebabkan konvergensi awan tidak seintens wilayah
Indonesia yang lain.
Pertanian
NTT merupakan sektor paling rentan terhadap resiko iklim ekstrim. Pada
kondisi sangat ekstrim, La Nina menyebabkan kerusakan tanaman akibat
banjir, dan meningkatkan intensitas serangan hama dan penyakit. La Nina
menyebabkan kelembaban dan curah hujan tinggi yang disukai oleh
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Pada daerah rawan banjir, kehadiran
La Nina menyebabkan gagal panen akibat terendamnya tanaman. Pengaruh
kelebihan air terhadap tanaman akan lebih sensitif pada tanaman muda
dibandingkan tanaman dewasa. Sehingga tingkat kerentanan terhadap La
Nina juga tergantung pada saat kejadiannya, apakah anomali iklim terjadi
pada fase awal perkembangan tanaman atau pada tahap dewasa.
Meskipun memiliki sisi negatif, kehadiran La Nina secara
keseluruhan berdampak positif bagi sektor pertanian NTT. Peningkatan
produktivitas tanaman dan perluasan area panen tercatat setiap kejadian
La Nina. Periode La Nina pada 1998/1999, 2000 dan 2007/2008 menyebabkan
Rata-rata produktivitas padi meningkat hampir 12 %, sementara
produktivitas jagung mengalami peningkatan hingga 11 %. Penambahan luas
panen yang cukup nyata terjadi pada pertanaman padi yaitu 16 % (Basis
Data Statistik Departemen Pertanian 2010). Hal ini menunjukkan pengaruh
positif peningkatan curah hujan, mengingat padi merupakan tanaman pangan
dengan kebutuhan irigasi tertinggi.
Sebagai sektor tumpuan
sebagian besar penduduk propinsi ini, maka perlu disusun rangkaian
kebijakan pertanian yang menyeluruh dalam mengantisipasi kondisi
anomali/penyimpangan iklim. Kebijakan untuk antisipasi tersebut dapat
berupa: (1) Pengembangan sistem deteksi dini anomali iklim berupa
prediksi iklim yang meliputi waktu kejadian, lama kejadian, tingkat
anomali, potensi dampak terhadap ketersediaan air dan produksi pangan,
dan sebaran wilayah rawan. Sistem deteksi dini yang dibangun harus melibatkan antisipasi terhadap serangan hama penyakit di masa mendatang, yang rentan terjadi selama periode La Nina. Prediksi
dan pemodelan iklim harus terus dilakukan untuk meningkatkan akurasi;
(2) Mengembangkan sistem diseminasi informasi iklim secara cepat dengan
jangkuan luas terhadap petani dan berbagai pihak dengan didukung oleh
kelembagaan yang kuat; (3) Mengembangkan, mendesiminasikan dan
memfasilitasi petani lewat sekolah lapang iklim atau sekolah lapang
pertanian, untuk dapat menerapkan pola dan teknik budidaya yang adaptif
di NTT, seperti mengatur pola tanam Padi-Padi-Palawija atau
Padi-Palawija-Palawija untuk kasus La Nina dan pola tanam Padi-Palawija
atau Palawija-Palawija untuk kasus El Nino.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar