Glitter Words


Minggu, 07 Oktober 2012

anomali iklim dan pertanian NTT



Memasuki puncak musim kemarau di bulan Agustus 2010, hujan di sebagian besar wilayah Indonesia termasuk NTT masih terjadi dalam intensitas yang cukup tinggi. Sebagian wilayah Indonesia bahkan hingga saat ini mengalami musibah banjir, tanah longsor dan puting beliung. Penyimpangan cuaca (anomali) di musim kemarau ini tidak terlepas dari interaksi atmosfer dan lautan sebagai faktor pengendali curah hujan. Suhu permukaan laut di perairan Indonesia yang meningkat menyebabkan semakin intensifnya proses penguapan dan pembentukan awan yang berdampak pada peningkatan curah hujan. Curah hujan yang tinggi juga disebabkan oleh fenomena global yang disebut La Nina.

La Nina merupakan fenomena alam yang ditandai dengan kondisi suhu muka laut di perairan Samudra Pasifik ekuator berada di bawah nilai normalnya (dingin), sementara kondisi suhu muka laut di perairan Benua Maritim Indonesia berada di atas nilai normalnya (hangat). Kondisi suhu muka laut di samudra pasifik yang dingin menimbulkan tekanan udara tinggi, sementara kondisi hangat perairan Indonesia yang berada di sebelah barat pasifik menimbulkan tekanan udara rendah. Kondisi ini menyebabkan mengalirnya massa udara dari pasifik ke wilayah Indonesia. Aliran tersebut mendorong terjadinya konvergensi massa udara yang kaya uap air. Akibatnya semakin banyak awan yang terkonsentrasi dan menyebabkan turunnya hujan yang lebih banyak di daerah tersebut (lebih dari 40 mm/bulan di atas rata-rata Normalnya).

Kebalikan dari La Nina adalah El Nino ketika suhu permukaan laut di Samudra Pasifik menghangat dan menyebabkan terjadinya musim kemarau yang kering dan panjang di Indonesia. Penurunan curah hujan pada saat El Nino dapat mencapai 80 mm/bulan
Secara meteorologis kejadian La Nina dan El Nino ditunjukkan oleh Southern Osccilation Index (SOI) dan perubahan suhu permukaan laut di Samudra Pasifik (ASST). Nilai SOI bervariasi menurut bulan atau dalam periode waktu yang lebih singkat akibat perubahan perbedaan tekanan udara antara Darwin dan Tahiti. Pada peristiwa La Nina, nilai SOI meningkat di atas kisaran normal dan sebaliknya pada kejadian El Nino. Sementara nilai ASST negatif menunjukkan terjadinya La Nina sebaliknya ASST positif mengindikasikan El Nino.
 
Kecendrungan fenomena La Nina dalam musim penghujan 2010 sebenarnya sudah diprediksi sejak awal musim kemarau. Hasil prediksi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan sejumlah lembaga pemantau cuaca dunia seperti NOAA (USA), BOM (Australia), Jamstec (Jepang) menunjukkan adanya anomali suhu muka laut negatif. La Nina diprediksi akan terus dominan hingga Maret 2011 hingga selanjutnya menuju kondisi netral pada bulan April 2011.
 
Nusa Tenggara Timur, dengan tipe curah hujan moonsonal (memiliki satu puncak hujan), tidak luput dari fenomena ini. Normalnya musim kemarau berlangsung cukup lama hingga 8 bulan, sementara rata-rata musim hujan berlangsung selama 4 bulan (Desember – Maret). Tahun 2010, NTT mengalami musim kemarau yang lebih basah dibandingkan tahun normal, meskipun intensitas hujan tidak sebesar peningkatan di daerah lain yang menimbulkan banjir. Pola musim NTT yang dipengaruhi oleh angin kering dari Australia menyebabkan konvergensi awan tidak seintens wilayah Indonesia yang lain.

Pertanian NTT merupakan sektor paling rentan terhadap resiko iklim ekstrim. Pada kondisi sangat ekstrim, La Nina menyebabkan kerusakan tanaman akibat banjir, dan meningkatkan intensitas serangan hama dan penyakit. La Nina menyebabkan kelembaban dan curah hujan tinggi yang disukai oleh Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Pada daerah rawan banjir, kehadiran La Nina menyebabkan gagal panen akibat terendamnya tanaman. Pengaruh kelebihan air terhadap tanaman akan lebih sensitif pada tanaman muda dibandingkan tanaman dewasa. Sehingga tingkat kerentanan terhadap La Nina juga tergantung pada saat kejadiannya, apakah anomali iklim terjadi pada fase awal perkembangan tanaman atau pada tahap dewasa.
 
Meskipun memiliki sisi negatif, kehadiran La Nina secara keseluruhan berdampak positif bagi sektor pertanian NTT. Peningkatan produktivitas tanaman dan perluasan area panen tercatat setiap kejadian La Nina. Periode La Nina pada 1998/1999, 2000 dan 2007/2008 menyebabkan Rata-rata produktivitas padi meningkat hampir 12 %, sementara produktivitas jagung mengalami peningkatan hingga 11 %. Penambahan luas panen yang cukup nyata terjadi pada pertanaman padi yaitu 16 % (Basis Data Statistik Departemen Pertanian 2010). Hal ini menunjukkan pengaruh positif peningkatan curah hujan, mengingat padi merupakan tanaman pangan dengan kebutuhan irigasi tertinggi.
 
Fenomena La Nina yang terjadi saat ini tetap perlu diwaspadai. Hasil analisis terhadap 13 stasiun klimatologi, Litbang Deptan menunjukkan 86 % kejadian La Nina selalu diikuti oleh El Nino yang dapat menyebabkan kekeringan dan rawan pangan semakin meluas di NTT. Berdasarkan data historis kejadian hujan dan nilai SOI, periode El Nino terjadi lebih sering dibanding La Nina yaitu pada 1991, 1992, 1993, 1994, 1997/1998 dan 2007. El Nino menyebabkan produktivitas jagung dan padi NTT menurun masing-masing 18 % dan 10 %.
Sebagai sektor tumpuan sebagian besar penduduk propinsi ini, maka perlu disusun rangkaian kebijakan pertanian yang menyeluruh dalam mengantisipasi kondisi anomali/penyimpangan iklim. Kebijakan untuk antisipasi tersebut dapat berupa: (1) Pengembangan sistem deteksi dini anomali iklim berupa prediksi iklim yang meliputi waktu kejadian, lama kejadian, tingkat anomali, potensi dampak terhadap ketersediaan air dan produksi pangan, dan sebaran wilayah rawan. Sistem deteksi dini yang dibangun harus melibatkan antisipasi terhadap serangan hama penyakit di masa mendatang, yang rentan terjadi selama periode La Nina.  Prediksi dan pemodelan iklim harus terus dilakukan untuk meningkatkan akurasi; (2) Mengembangkan sistem diseminasi informasi iklim secara cepat dengan jangkuan luas terhadap petani dan berbagai pihak dengan didukung oleh kelembagaan yang kuat; (3) Mengembangkan, mendesiminasikan dan memfasilitasi petani lewat sekolah lapang iklim atau sekolah lapang pertanian, untuk dapat menerapkan pola dan teknik budidaya yang adaptif di NTT, seperti mengatur pola tanam Padi-Padi-Palawija atau Padi-Palawija-Palawija untuk kasus La Nina dan pola tanam Padi-Palawija atau Palawija-Palawija untuk kasus El Nino.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar